Senin, 11 Juli 2011

KUNJUNGAN HAYAM WURUK KE BLITAR

KUNJUNGAN HAYAM WURUK KE BLITAR

Oleh: Ferry Riyandika

Kakawin Nāgarakrtâgama atau juga disebut dengan nama Kakawin Desawarnana (Deśawarnana merupakan gubahan dari Mpu Prapañca pada tahun 1287 Saka (1365 Masehi). Kakawin ini menguraikan keadaan Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja yang bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi. Bagian terpenting teks ini adalah menguraikan perjalanan dengan tujuan untuk mengelilingi dan berkunjung ke daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada waktu itu, khususnya di wilayah Jawa Timur. Penulisan atau penelitian ini akan ditekankan perjalanannya menuju Blitar, Lodaya, Daha, dan Janggala guna untuk menentukan keletakan desa-desa yang dilalui pada masa Hayam Wuruk. Dari uraian Nagarakrtagama disebutkan sebagai berikut.

Perjalanan Hayam Wuruk Tiap Tahun

“… Yan tan mangka mareng phalah mareki jong hyang acala pati bhakti sadara, pantes yan panulus dhateng ri balitar mwang-i jimur-i silahritalengong, mukyang polamaning dahe kuwu ri lingga mara bangunika lanenusi, yan ring janggala lot shaba nripati ring surabhaya manulus mareng buwun….”

Terjemahan:

“….. bila tidak demikian Baginda pergi ke Palah memuja Hyang Acala Pati, dengan bersujud, biasa juga terus ke Balitar dan Jimur(Riana, 2009: 116).


Kunjungan ke Palah, Balitar dan Jimur

Nama Palah merupakan nama sebuah tempat suci yang termuat dalam prasasti di Komplek Candi Penataran. Dalam prasasti yang berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Crengga dari kerajaan Kadiri, menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah. Menurut para sarjana yang dimaksud Palah adalah Panataran. Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli ilmu alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul "History of Java" yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu: J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di kompleks percandian Panataran.

Sepertinya kedudukan Candi Panataran digunakan sebagai kuil Nagara (state temple) yang diresmikan pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328. Sebutan Hyang Acala pati adalah pemujaan kepada raja Gunung (Girindra). Pemilihan lokasi dengan latar belakang gunung bukanlah secara kebetulan. Pendirian bangunan suci Palah dimaksudkan sebagai Candi Gunung, yakni candi yang diperuntukkan keperluan memuja gunung. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk dapat “menetralisasi” atau menghindarkan segala mara bahaya yang disebabkan oleh gunung. Pemujaan kepada Hyang Acalapati adalah juga pemujaan kepada Raja Gunung (Girindra), jadi bersifat Siwais (Wisnoewardhono, 1988: 32).

Gunung yang dimaksud adalah Gunung Kelud yang sering memuntahkan lahar panas ataupun lahar dingin setiap saat. Pernyataan dalam Nagarakertagama ini semakin memperkuat tentang keberadaan Candi Panataran, yang pada waktu itu disebut dengan nama “Palah”.

Mengenai Candi Panataran atau Rabut Palah bukan merupakan candi pendharmaan, karena merupakan kompleks yang relatif luas. Rabut Palah adalah candi kerajaan yang telah disucikan sejak zaman Kadiri hingga periode akhir Majapahit, jadi masa berfungsinya percandian itu membentang sejak temuan prasasti tahun 1197 Masehi (jaman Kadiri) hingga tahun 1454 Masehi dari zaman kemunduran Majapahit (Kempers, 1959: 90).

Selain disebutkan sebagai salah satu tujuan perjalanan Hayam Wuruk diatas, Rabut Palah hingga awal abad ke-16 masih ramai dikunjungi oleh para penziarah.
Naskah Sunda kuna yang disusun oleh Bujangga Manik menceritakan pula tentang Rabut Palah. Bujangga Manik melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa di awal abad ke-16. Dalam perjalanan tersebut ia mengunjungi beberapa tempat suci Hindu-Buddha baik di wilayah Jawa bagian tengah ataupun Jawa bagian timur. Bujangga Manik juga sempat singgah di Rabut Palah dan tinggal di kompleks bangunan suci itu sekitar satu tahun. Ia tidak hanya melakukan pemujaan di tempat itu melainkan juga meningkatkan pengetahuannya dalam bidang kesusastraan dan memperdalam bahasa Jawa. Sebelum mengunjungi Rabut Palah Bujangga Manik terlebih dahulu mendatangi Rabut Pasajen yang merupakan bangunan suci yang juga disakralkan oleh orang Jawa. Lokasi bangunan Rabut Pasajen itu letaknya di lereng yang lebih tinggi dari lokasi Rabut Palah pada lereng Gunung Kelud yang sekarang menjadi Candi Gambarwetan.

“……datang ka Rabut Pasajen, Eta hulu Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu dise(m)bah ku na Jawa. Maca (a)ing Darmaweya, pahi deung Pa(n)dawa Jaya. Ti inya lunasing jobrah, aing bisa carek Jawa, bisa / aing ngaro basa. /19/. Di inya aing teu heubeui, satahun deung sataraban. Ha(n)teu betah kage(n)teran, datang nu puja ngancana, nu nye(m)bah ha(n)teu pegatna nu ngideran ti nagara……”

Terjemahan:
“……datang ke Rabut Pasajen. Itulah dataran tinggi Rabut Palah, tempat suci bagi Majapahit, yang disakralkan orang Jawa. Aku membaca Darmaweya, Bersama dengan Pandawa Jaya. Setelah itu keingintahuanku tercapai, aku bisa berbahasa Jawa, aku mampu berdwibahasa. Aku disitu tak lama, selama setahun lebih. Tidak kerasan dalam kegaduhan, kedatangan para pemuja keduniawian, para penziarah tak ada hentinya para pengunjung dari perkotaan.…..” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).

Selain dari kisah perjalanan Bujangga Manik, nama Panataran juga disebut dalam Kitab Centhini yang berangka tahun 1742. Dalam kitab ini dikisahkan tentang perjalanan Raden Jayengresmi putra Sunan Giri beserta kedua santri lainnya yaitu si Gatak dan si Gatuk menuju Candi Penataran dan melihat lukisan dengan cerita jaman Sri Rama (Sumahatmaka, 1981: 15).

Setelah dari Palah (Candi Penataran), Hayam Wuruk mengunjungi Balitar. Nama Balitar sekarang dengan pasti dapat di identifikasikan menjadi sebuah kelurahan yaitu Kelurahan Blitar yang terletak di Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Nama Blitar juga disinggung dari uraiaan naskah perjalanan Bujangga Manik yang dimana diuraikan bahwa setelah dari Waliring dan Polaman, Bujangga Manik mengunjungi daerah Balitar (“…Leu(m)pang aing marat ngidul, nepi aing ka Waliring, ngalalaring ka Polaman, datang aing ka Balitar…” (“…Aku berjalan ke baratdaya, sampailah ke Waliring, aku berjalan lewat Polaman, tibalah ke Blitar……”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 304).

Dari tinggalan arkeologi di Kelurahan Blitar juga terdapat kompleks makam seorang tokoh yang sebagian besar masyarakat Blitar meyakini salah satunya sebagai tempat makam Adipati Aryo Blitar. Pada halaman samping barat cungkup makam terdapat reruntuhan struktur bangunan kuno yang ditata ulang kembali. Dalam Kakawin Nagarakrtagama juga disebutkan adanya tanah sima bagi Desa Kapungkuran. Perdikan tersebut kini tetap digunakan hingga sekarang sebagai nama Dukuh di Kelurahan Blitar yang dimana terletak di selatan makam Aryo Blitar berada. Disebelah timur laut Makam Kapungkuran terdapat urung-urung (saluran air) yang terbuat dari batu bata yang menghubungkan dari daerah utara dan selatan, namun sayang sekali urung-urung tersebut kini sudah tertimbun dan di atasnya menjadi rumah. Selain itu juga ditemukan yoni yang caratnya putus, sebuah batu candi, puing-puing batu kuno dan hiasan candi kini menjadi nisan Mbah Barat Ketigo serta tinggalan lainnya berupa tiga jambangan yang terbuat dari batu andesit, batu dakon (atap gapura paduraksa).

Pada radius 500 meter ke selatan di komplek Makam Tilara dahulu telah ditemukan dinding batu batu kuno yang berfungsi sebagai dinding kolam (patirthan) yang kini menjadi sawah. Menurut Hoepermans pada tahun 1913 di Desa Blitar masih terdapat tinggalan berupa kepala kala dan prasasti yang bertarikh saka 1246 (1324 Masehi)yang kini berada di Museum Nasional (Danardhana, 1977: 18-19). keberadaan tinggalan tersebut sebagian besar tidak dapat ditemukan kembali. Kemungkinan besar dahulu tempat ini merupakan sebuah bangunan candi dan patirthan masa Majapahit.

Sebagai pendukung keletakan Kelurahan Blitar pada masa lampau pada tahun 1848 kediaman Bupati Blitar yaitu R.M Aryo Ronggo Hadinegoro di Desa Blitar dan masjid yang di bangun oleh penghulu I Blitar yaitu Kyai Imam Besari pada tahun 1820 Masehi di terjang muntahan letusan Gunung Kelud yang mengalir ke Sungai Lahar di dekat kediamannya. Selanjutnya kediamannya dipindahkan ke Kepanjenlor yang kini menjadi Kantor Bupati Blitar.

Baginda Raja melanjutkan perjalanan menuju ke Jimur. Nama Jimur hingga sekarang belum dapat diidentifikasi keberadaanya, akan tetapi nama Jimur memiliki kemiripan dengan desa-desa yang berada di wilayah Blitar. Boleh jadi nama Jimur sekarang menjadi Jlimut yang merupakan suatu dukuh yang terletak di Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar, di sebelah timur Dukuh Jlimut tepatnya di Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar terdapat gundukan kecil yang menyerupai bukit kecil. Selain itu terdapat tinggalan arkeologi berupa arca berbentuk petapa dan seorang wanita. Tinggalan tersebut terletak di dekat sumber air yang sekitarnya dikelilingi beberapa pohon beringin.

Nama Jimur kemungkinan juga menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar yaitu Desa Jiwut. Warga setempat masih percaya bahwa Desa Jiwut merupakan tempat petilasan dari seorang tokoh yang bernama Ken Angrok. Dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa nama Jiput merupakan sebuah desa tempat lahirnya pemuda yang bersedia menjadi korban untuk pintu gerbang asrama Mpu Tapawangkeng dan agar dijelmakan ke timur Kawi yang selanjutnya bernama Ken Angrok (Padmapuspita, 1966: 47). Nama Djiput dalam Kitab Pararaton tidak menutup kemungkinan kini nama wilayah tersebut berubah menjadi Desa Jiwut. Khususnya di Dusun Lumbung, Desa Jiwut pernah terdapat beberapa tinggal-tinggalan arkeologis berupa makara, jaladwara dan batu andesit yang berbentuk seperti piramida (Knebel, 1908: 75-76).

Menurut penuturan warga setempat yang terletak di Dusun tersebut bahwa dahulu diyakini sebagai tempat bekas petilasan Ken Angrok dan memberitahukan dahulu terdapat tumpukan balok batu bata kuno besar-besar di tempat bekas petilasan tersebut namun sayang sekali keberadaanya sekarang sudah hancur dan beralih menjadi tempat ladang penduduk.

Sedangkan di pemakaman umun Dusun Klampok yang berbatasan langsung dengan Dusun Lumbung ditemukan tinggalan-tinggalan berupa beberapa balok batu bata kuno, umpak dan beberapa lumpang yang berserakan di pinggir pemakaman hingga di parit luar pemakaman. Menurut penuturan warga Dusun Klampok bahwa sejak dari dahulu lumpang tersebut sengaja di taruh atau dibuang di pemakaman guna untuk menghindari dari alamat tidak baik bila memiliki keturunan yang banyak. Selain itu juga sebuah pelipit arca pecahan dari Prasasti Kinwu yang dituliskan di balik arca Ganesha keberadaanya telah ditemukan kembali di Dusun Klampok, Desa Jiwut (Suhadi, e.a, 1996: 30).

Kunjungan ke Lodaya

“….. Ring saka ksati suryya sang prabhu mahas ri pajang iniringi sanagara, ring sakangga nagaryyama sira mare lasemahawani tiranang pasir, ri dwaradri panendu panglengengireng jaladhi kidulatut wana laris, ngkaneng lodhaya len teto ri sideman jinajahira langonya yenitung….”

Terjemahan:

“….1279 (1357 Masehi) bercengkerama ke laut selatan berjalan lewat hutan, di Lodaya, lain pula Tetu, di Sediman juga dikunjungi keindahannya juga dinikmati......” (Riana, 2009: 117).

Wilayah daerah Lodaya merupakan nama lama untuk ibukota eks Kawedanan Lodoyo di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar yang terletak di selatan Sungai Brantas. Hingga kini nama Lodoyo masih melekat dipergunakan dalam rujukan bagi penduduk Blitar yang berada di daerah selatan Brantas. Daerah Lodoyo yang kini menjadi Kecamatan Sutojayan merupakan daerah yang dibatasi oleh beberapa bukit yang menjulang di daerah sekitarnya. Sebelah timur berbatasan dengan Hutan Kaulon yang terletak di barat Kecamatan Binangun, sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Gunung Betet yang terletak di Timur Kecamatan Kademangan, sedangkan batas Utara adalah Sungai Brantas.

Di Lodoyo pernah ditemukan arca katak yang memuat angka tahun Saka 1213 atau 1291 Masehi. (Knebel, 1908: 34). Selain itu pernah ditemukan pecahan fragmen arca Ganesha dan Yoni (Arnawa, 1991: 37-38). Dalam Serat Centini dikisahkan tentang perjalanan Raden Jayengresmi beserta kedua santrinya yaitu si Gatak dan si Gatuk setelah lari dari Kedaton Giri menuju ke bekas istana Majapahit setelah itu ke Candi Panataran, meninggalkan tempat tersebut tiba di Dukuh Gaprang melihat arca laki-laki dan perempuan. Selanjutnya melakukan perjalanan ke Lodaya yang terdapat Gong yang bernama Kyai Pradah (Suhatmaka, 1981: 15).

Di Desa Gaprang hingga sekarang terdapat sebuah situs yang dimana diantaranya terdapat arca yang memegang pallus dan tinggalan lainnya. Sedangkan Gong Kyai Pradah yang terletak di Lodoyo sampai sekarang tetap dipergunakan sebagai upacara ritual menjelang awal bulan Maulud atau Rabiul Awal yang disebut Siraman Gong Kyai Pradah. Gong ini masih di simpan di utara alun-alun Lodoyo (Bintoro, e.a., 2002: 73-74). Menurut cerita rakyat, Raja Hayam Wuruk, raja Majapahit mempunyai paman bernama Raden Condromowo (Condrogeni) yang berkedudukan di Ngatas Angin saudara dari Kerajaan Bantar Angin Lodoyo bernama Prabu Klono Djatikusumo. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian di Ngetos (Harimintadji e.a. 1994: 137-138).

Nama Tetu dalam uraian Kakawin Nagarakrtagama sampai sekarang identifikasi tempatnya belum terlacak dan diketahui. Namun Tetu memiliki arti papan yang biasanya merupakan bagian dari bale (atap) atau dapat juga berarti kereta perang (Zoetmulder, 1995: 1245). Nama Tetu sekarang boleh jadi terletak di sebelah barat perempatan pasar Lodaya (Sutojayan) atau alun-alun Lodaya yang sekarang disebut Gunung Betet yang terletak di Desa Kembangarum, Kecamatan Sutojayan, kemungkinan Tetu (“tet-u”) tinggal menjadi “tet” kini berubah menjadi “Be-tet”. Apakah Tetu sekarang berubah menjadi Gunung Betet harus ada peninjauan lebih lanjut akan nama daerah ini guna untuk memperjelas keletakan daerah yang dilalui oleh Hayam Wuruk.

Sama halnya dengan nama Sediman yang keletakannya belum juga dapat di ketahui. Namun dari namanya, Sediman memiliki kemiripan dengan nama Desa Kademangan (Sa-deman yang kini berubah menjadi Ka-demang-an). Kemungkinan besar letaknya berada di Kademangan bagian timur yaitu di Desa Darungan, Kecamatan Kademangan. Di Desa Darungan tepatnya di Dusun Besole pada tahun 2006 telah ditemukan Gapura Bentar Besole. Bangunan utamanya adalah tangga masuk berbahan dasar bata merah, yang berada ± 2 meter di bawah permukaan tanah. Kemungkinan gapura tersebut dibangun pada masa kerajaan Kadiri dan dimanfaatkan hingga masa Majapahit. Terdapat sebuah prasasti yang memiliki pahatanan candra kapala lancana dan angka tahun 1054 Saka atau 1051 Saka pada masa pemerintahan Bameswara dan batu bata kuno utuh berserakan di areal persawahan Dusun Besole (Suhadi, e.a, 1996: 24). Kemungkinan Gapura ini merupakan tempat pelabuhan sungai dan batu bata kuno tersebut boleh jadi merupakan tempat pemukiman yang terletak di pinggir selatan Sungai Brantas, mengingat jaraknya 100 meter antara Situs Besole dengan Sungai Brantas. Jadi arah perjalanan Hayam Wuruk adalah menyeberangi sungai hingga tiba di Sedimen (Besole), selanjutnya menuju ke Tetu (Betet) dan sampai ke Lodoyo. Sepanjang perjalanan di wilayah ini merupakan hutan yang lebat dan berbukit. Maka tidak mengherankan apabila hutan ini dahulu memiliki keindahan dan disenangi raja Hayam Wuruk.

Kunjungan Hayam Wuruk ke Simping

“…. Ndan ring saka tri tanu rawi ring wesaka, sri na-/- tha muja mara ri palah sabrtya, {30a} jambat sing ramya pinaraniran langlitya, ri lwang wentar manguri balitar mwang jimbe. Janjan sangke balitarangidul tut margga, sangkan poryyang gatarasa tahenyadoh wwe, ndah prapteng lodhaya sira pirang ratryangher, sakterumning jaladhi jinajah tut pinggir. Sah sangke lodhaya sira manganti simping, sweccha nambya mahajenga ri sang hyang dharma, sakning prasada tuwi hana dohnya ngulwan, na hetunyan bangunenanga wetan matra. Mwang tekang parimana ta pwa pinatut wyaktinya lawan prasasti, hetunyan tinapan sama padhinepan purwwadhi sampun tinugwan, ndan sang hyang kuti ring gurung gurunginambil bhumya sang hyang dharma, gontong, wisnu rareka bajradharaneka pangheli sri narendra. Rayuntuk sri narapatya margga ri jukung joyana bajran pamurwwa, prapta raryyani bajra laksmi namegil ring surabhane sudharmma, enjing ryangkatiran pararyyani bekel sonten dhateng ring swarajya, sakweh sang mangiring muwah te-/- lasumantuk ring swawesmanya sowing…..”

Terjemahan:

“… lalu pada tahun saka Tritanurawi—1283 (1361 Masehi) bulan Wesaka—April-Mei, Baginda Raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya, berlarur-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan di Jimbe. Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan, mendaki kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap dipandang, maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal disana, tertegun pada keindahan laut dijelajahi menyisiri pantai. Baginda Raja meninggalkan Lodaya menuju Desa Simping, dengan rela seraya memperbaiki tempat memuja leluhur, candi itu rusak tampak bergeser ke barat, itulah sebabbya direnovasi digeser agak ke timur. Serta merta penataannya diperbaikan disesuaikan bunyi prasasti, lalu diukur yang benar dengan depa di ujung timur telah dibuat tugu, maka wihara di Gurung-Gurung diambil halamannya untuk tempat candi, Gontong, Wisnurare di Bajradarana itu sebagai penggantinya oleh Baginda Raja. Baginda pulang melalui Jukung, Joyana, Bajran terus ke timur, berhenti di Brajalaksmi bermalam di Candi Surabawana, paginya berangkat pula berhenti di Bekel sore hari tiba di istana, semua pengiring telah pulang ke rumahnya masing masing….” (Riana, 2009: 302-306).

Uraian nama Palah dan Balitar dapat melihat dan dibaca dalam kunjungan Hayam Wuruk ke Palah untuk memuja Hyang Acala Pati dan kunjungan ke Balitar di atas. Sedangakan untuk nama Lawang Wentar, menurut para ahli sekarang berubah menjadi Sawentar. Di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar terdapat tinggalan arkeologi berupa Candi Sawentar. Bangunan ini mirip dengan Candi Kidal yang terletak di daerah Tumpang, Malang. Pada bagian candi masih utuh namun bagian atapnya sudah runtuh. Tingginya bangunan keseluruhan adalah sekitar 15 meter, sekarang hanya tinggal 10,65 meter. Dalam ruangan atau di dalam relung candi, terdapat yoni dan alas tumpuannya berelief garuda kecil, yang dimana dalam agama Hindhu merupakan wahana atau kendaraan Dewa Wisnu. Di atas ruang terdapat relief Dewa Surya yang menaiki seekor kuda dengan telinganya seperti kelelawar. Atap berbentuk piramida yang tinggi, terdiri dari tiga satuan lapisan horisontal masing-masing mendukung satu rangkaian bentuk menara kecil. Puncak membentuk kotak (Kempres, 1959: 73).

Di sebelah selatan tepatnya dibelakang pasar pada tahun 1999 diadakan penggalian oleh Balai ArkeologibYogjakarta. Dalam hasil penelitian menampakkan dan menghasilkan suatu struktur bangunan yang disebut Situs Sawentar II. Pada menggalian tersebut juga menemukan batu ambang miniature candi berangka tahun 1358 Saka (1436 Masehi), suatu relief seekor naga bermahkota menggigit matahari yang merupakan candrasangkala “Nagaraja anahut surya yang berarti 1318 Saka (1396), candrasangkala “Ganeca inapit mong anahut surya (1328 Saka/ 1406 Masehi) (Tjahjono & Nurhadi Rangkuti, 2000: 35).

Selain itu, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanan mengunjungi Jimbe. Nama Jimbe hingga sekarang tetap bernama Desa Jimbe yang terletak di Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Di desa ini terdapat suatu tinggalan arkeologi berupa kekunaan Jimbe, sedangkan warga setempat menyebutnya dengan “Mbah Umyang”. Tinggalan yang berada di situs ini berupa beberapa fragmen arca, arca nandi, beberapa batu candi, umpak, bagian kepala katak, bak air, lumpang batu, dan fragmen yoni (Arnawa, 1991: 3-10). Selain itu juga terdapat batu bertulis yang merupakan angka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi (Bandi, e.a., 1984/ 1985: 87).

Dari uraian Nagarakrtagama diatas disebutkan bahwa setiba di Lodaya rombongan Hayam Wuruk menginap di daerah Lodaya beberapa malam. Di Kawasan Kecamatan Sutojayan (Lodoyo) selain ditemukan arca katak, arca Ganesha dan Yoni diatas terdapat tinggalan arkeologi masa Hindhu-Buddha begitu banyak, diantaranya adalah tinggalan di Dukuh Cungkup, Desa Bacem Kecamatan Sutojayan terdapat situs berupa Candi Bacem yang sebagian besar terbuat dari bahan batu bata. Situs ini terdiri dari dua buah bangunan candi. Di bawah candi terdapat gorong-gorong atau saluran air yang terbuat dari batu, menurut juru kunci Candi Bacem masih tertanam dibawah tanah sedalam 1,5 m.

Selain itu, di Desa Pandanarum terdapat tinggalan berupa kronogram berbunyi 1258 Saka atau 1336 Masehi. Kronogram tersebut terbuat dari batu gamping (Simanjutak, 1982/1983: 36). Menurut penuturan warga setempat terdapat sebuah arca laki-laki yang oleh warga diberi nama “Arca Jaka Tarub”, namun tinggal tubuhnya saja. Situs ini terletak di dekat sumber air “Mbelik Jambu”. Terdapat juga tinggalan-tinggalan lainnya di Desa Ngeni, Kecamatan Wonotirto yaitu berupa Prasasti di Gunung Nyamil yang berbahan dasar dari batu gamping. Huruf prasasti mirip dengan huruf prasasti di Candi Sukuh. Prasasti tersebut memiliki empat baris, pada baris keempat menurut Drs. Soekarto merupakan sangkalan yang berarti 1210 Saka (1288 Masehi). Terdapat juga arca seorang tokoh yang bagian kepalanya sudah pecah, warga setempat menyebutnya “Arca Mbah Putri”, tinggalan lainnya berupa beberapa umpak batu, dan batu dakon. Kemungkinan pada jaman dahulu digunakan sebagai bangunan permanen (Simanjutak, e.a., 1982/ 1983: 34-36).

Mengingat keadaan jalan yang menanjak dan terjal untuk menuju pantai laut selatan Lodaya, Hayam Wuruk menginap beberapa hari di salah satu di daerah tersebut, kemungkinan Hayam Wuruk menjurus langsung keselatan dan menginap di Desa Ngeni, mengingat banyaknya tinggalan arkeologi dan letaknya berdekatan dengan Desa Ngadipuro yang wilayah bagian selatan berupa hamparan laut selatan yang begitu banyak dan kaya akan keindahannya terutama Pantai Serang yang merupakan batas antara Desa Ngadipuro, KecamatanWonotirto dengan Desa Serang, Kecamatan Panggungrejo, Pantai Dung Dowo, Pantai Bakung, Pantai Selok Kancil, dan Pantai Benelan yang kesemuanya terletak di Desa Ngadipuro.

Setelah mengunjungi untuk menikmati keindahan pantai selatan, Hayam Wuruk kembali melakukan perjalanan menjurus ke arah barat laut Kecamatan Wonotirto dan tiba di Simping untuk pemujaan leluhurnya. Candi Simping kini terletak di Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Kurang lebih 10 km sebelah selatan Kota Blitar, kurang lebih 3 km sebelah selatan dari aliran Sungai Brantas dan 2 km ke utara dari Pegunungan Kapur Selatan.. Kondisi candi sekarang sudah runtuh tinggal batur candi saja sehingga tidak menyisakan bentuk kaki, tubuh, dan atapnya. Batur candi tersebut bagian dalamnya terbuat dari bahan batu bata, sedangkan untuk bagian luarnya terbuat dari batu andesit. Terdapat komponen-kompenen arsitektur seperti tubuh, atap, dan kemuncak candi yang sudah berserakan disekitarnya telah ditata rapi oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur (Arnawa, 1991: 10-11).

Pada bagian tengah lahan dari wilayah bangunan candi terdapat komponen batur candi yang masih tersisa, terbuat dari batu bata (bagian dalam) dan batu andesit (bagian luar). Kemungkinan batu bata yang disusun rapi disebelah utara batur candi merupakan bagian dari candi. Dilihat dari batur candinya kemungkinan dahulu Candi Simping memiliki ruangan. Pada bagian atas batur candi terdapat sebuah alas (pedestal) arca yang terbuat dari batu andesit berbentuk bujur sangkar. Permukaan pedestal ini dipahatkan seekor kura-kura (akupa) menghadap kebarat, pada punggung kura-kura terdapat pahatan berupa empat ekor naga yang saling melilitkan kepala dan ekornya melingkari tonjolan persegi yang ada di titik tengah permukaan alas (pedestal). Menurut W. F. Stutterheim mengindentifikasikan bahwa salah satu arca yang disimpan di Museum Nasional Jakarta berasal dari Candi Simping, arca tersebut adalah Hari-Hara (Hari sebutan Wisnu pada bagian tubuh kiri dan Hara sebutan Siwa pada tubuh bagian kanan).Ukuran batur candi adalah 835 cm x 835 cm, pada masing-masing sisi terdapat penampil dan halaman depan penampil selebar 350 cm. tinggi batur candi 65 cm (Wati, 2008: 58-59).

Di atas pedestal (alas) dahulu terdapat arca perwujudan dari raja yang didharmakan di Candi Simping. Dalam Negarakrtagama dalam pupuh 47/ 3 (Muljana, 2006: 370) disebutkan bahwa pada Tahun Saka surya mengitari tiga bulan (1231 C/ 1309) Sang prabu mangkat, ditanamkan di dalam pura Anthahpura, begitu nama makam beliau Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa. Selain itu dalam reruntuhan bangunan candi sekarang terdapat tinggalan-tinggalan lain berupa kepala kala, relief berupa gambaran hewan, tumbuhan yang distilir, dan balok-balok batu andesit dan batu bata.

Pada kunjungan tersebut diadakan pemugaran candi yang sesuai dengan Kitab Nagarakrtagama dikatakan bahwa candi rusak tampak bergeser ke barat dan akan digeser agak ke timur. Selain itu dilakukan penataan ulang disesuaikan bunyi prasasti, lalu diukur yang benar dengan depa di ujung timur telah dibuat tugu. Selain itu untuk tempat bangunan candi Hayam Wuruk mengambil halaman dari wihara di Gurung-Gurung, dan halaman wihara tersebut diganti dengan Gontong, Wisnurare di Bajradarana. Untuk nama wihara di Gurung-Gurung kemungkinan terletak di daerah Pegunungan Kapur di sebelah selatan dan barat Candi Simping yang kini berubah menjadi Hutan Gogowurung (Gogo nama tanaman padi, Wurung artinya gagal). Sedangkan Gontong belum dapat diidentifikasi keletakannya kemungkinan masih terletak disekitar Candi Simping, namun Dukuh Saren, Desa Ngeni, Kecamatan Wonotirto yang terletak di aliran Sungai Sat terdapat beberapa cerukan-cerukan pada batu yang menyerupai gentong di sekitar sungai. Sedangkan nama Wisnurare di Bajradarana sekarang tinggal menjadi Dukuh Saren dan Banjarsari yang terletak di Desa Ngeni, Kecamatan Wonotirto.

Setelah dari Candi Simping Baginda Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan pulang ke Istana Majapahit melewati Jukung. Nama Jukung dalam bahasa Jawa Kuna merupakan nama jenis perahu kecil atau “jung” yang terbuat dari batang kayu atau memiliki arti diantara watek i jro (Zoetmulder, 1995: 429). Boleh jadi Hayam Wuruk menyeberangi Sungai Brantas dengan perahu kecil atau perahu penyeberangan yang sekarang terletak antara Desa Kademangan dengan Dusun Boro, Desa Tuliskriyo, Kecamatan Sanan Kulon. Pada tahun 1959 masih terdapat tambangan di daerah ini, namun sekarang tidak berfungsi lagi karena aliran air sungai semakin dangkal. Selanjutnya rombongan Hayam Wuruk tiba di Joyana. Nama Joyana tidak menutup kemungkinan sekarang berubah menjadi Desa Dermojayan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Diantara Sungai Brantas menuju Desa Dermojayan pada tahun 2010 di Dukuh Sumberbuntung, Desa Kalipucung, Kecamatan Sanankulon telah ditemukan beberapa tinggalan arca dewa-dewa yang terbuat dari tanah liat (terakota) dan yoni kecil yang sekarang masih di simpan di BP3 Trowulan, selain itu terdapat balok-balok batu bata kuno yang berserakan di areal penemuan tersebut. Situs ini terletak di areal pesawahan yang digunakan untuk pembuatan batu bata. Di sebelahnya terdapat aliran sungai. Pucung memiliki pengertian botol, wadah gelas, mengunjungi atau memasuki dengan diam (Zoetmulder, 1995: 868). Apakah Jukung sekarang berubah menjadi Pucung dan karena terletak di dekat aliran sungai berubah menjadi Kalipucung.

Apabila pendapat ini benar, maka sesuai dengan rutenya maka perjalanan Hayam Wuruk setelah menyeberangi Sungai Brantas, beliau membelok ke barat menyisiri Sungai Brantas melewati Dusun Cobanteng, Desa Ngaglik yang memiliki tinggalan berupa batu bertarikh Saka 1259 (1337 Masehi), batu candi, umpak, fragmen arca dan arca binatang serta relief sudut bangunan (Arnawa, 1991: 32-37) membelok ke utara menyisiri Sungai Kalipucung tiba di Dukuh Sumberbuntung, Desa Kalipucung. Selanjutnya berbelok lagi kebarat tiba di Desa Joyana (Dermojayan).

Nama Bajran belum dapat diketahui hingga saat ini. Bajra atau Braja memiliki arti yang keras, kilat, halilintar (senjata Indra), bentuk yang serupa dengan lingkaran cakram, intan permata dan bias berarti api kemarahan (Zoetmulder, 1995: 97; 133). Akan tetapi menilik dari nama Bajra atau Braja, nama ini juga memiliki kemiripan dengan daerah-daerah di Kabupaten Kediri. Diantaranya adalah Banjaranyar di Kecamatan Kras dan Desa Banjarrejo, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Menurut sumber lisan dari masyarakat dekat pasar di Ngadiluwih, bahwa tempat pasar tersebut dahulu terdapat arca-arca yang di kubur di bawah pasar. Apabila pendapat yang dikemukakan ini benar maka tepat sekali apabila rute perjalanan Hayam Wuruk dari Joyana (Dermojayan) menjurus langsung ke utara yaitu menuju ke Bajran yang berada di Desa Banjarejo, Kecamatan Ngadiluwih.

Selanjutnya rombongan Hayam Wuruk tiba di Brajalaksmi. Nama daerah ini juga belum dapat ditemukan keletakannya. Sesuai dengan rutenya hingga sampai di Bajran yang letaknya di Kecamatan Ngadiluwih, maka Brajalaksmi harus di cari disekitar wilayah tersebut, tepatnya disebelah utara atau timur. Di sebelah utara Desa Banjarrejo terletak kawasan Kota Kediri. Menurut catatatan Knebel (1908: 234, 265-266), di Kota Kediri tepatnya Kampung Cina di Kota Kadiri terdapat tinggalan-tinggalan arkeologi masa Hindhu-Buddha yaitu berupa arca Laksmi, Dwarapala, Siwa, dan Durga. Sedangkan di wilayah bagian timur yaitu di Desa Panjer, Kecamatan Plosoklaten pernah ditemukan arca Caitya dan Bodhisatwa. Apakah Brajalaksmi ini merupakan suatu tempat yang diperuntukkan diperuntukkan kepada Dewi Laksmi yang kini pesebarannya terletak di Kota Kadiri perlu diadakan penelitian ulang.

Nama Candi Surabawana oleh para ahli sejarah dan arkeologi ditujukan untuk tinggalan candi yang terletak di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Jadi rombongan Hayam Wuruk apabila Brajalaksmi terletak di Kampung Cina atau di Desa Panjer ini dibenarkan maka arah rute perjalanannya ke timur laut. Jadi urain dari Prapanca bahwa arah yang dilalui Hayam Wuruk untuk menuju ke Candi Surabawana bukanlah ke timur melainkan ke arah timur laut. Setelah menginap di Candi Surabawana Hayam Wuruk beserta rombongannya menuju ke Bekel dan berhenti, selanjutnya pada saat sore hari tiba di Istana Majapahit.

Nama Bekel merupakan nama jabatan untuk lurah suatu daerah. identifikasi Bekel dapat dijumpai dalam tamra prasasti yang bertarikh Saka 893 (971 Masehi) ditemukan di Pelem, Kabupaten Mojokerto dengan nama juru ri bkel sebagai salah satu peserta dalam upacara penetapan sima (Brandes, 1919: 116-119). Dalam prasasti tersebut juga di sebut juru ri kanta, juru ri kijangan, juru ri kuwu, juru ri lekan, juru ri telaga, dan juru ri walasah. Nama juru tersebut hingga kini sebagian besar terletak di daerah Kabupaten Kediri seperti juru ri kanta (Sungai Konto) dan juru ri kijangan (Desa Kunjang). Selain itu juga terdapat Dusun Bekel, yang terletak di Desa Kepuhkajang, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang.

Mengingat akan rute perjalanan Hayam Wuruk bila sore tiba di istana maka lokasi Bekel haruslah di cari di dekat Candi Surabhawana. Apabila nama Bekel yang diuraikan dari Kakawin Nagarakrtagama sama dengan juru ri bkel maka di wilayah Kecamatan Bareng terdapat sebuah desa yang mirip namanya dengan Bekel yaitu Desa Pakel. Apabila pendapat ini benar maka kemungkinan rute perjalanan Baginda raja adalah dari Candi Surowono ke arah timur hingga sampai Desa Kandangan dengan menyeberangi Kali Konto dan menjurus langsung ke utara hingga sampai di Desa Pakel, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Selanjutnya rombongan raja kemungkinan besar menjurus langsung utara hingga sampai di Japanan dan Dukuhmojo. Japanan merupakan tugu batas Keraton Majapahit yang berbentuk Yoni segi lima. Sesampai di Desa Dukuhmojo rombongan Hayam Wuruk membelok ke timur dan sampai istana Kerajaan Majaphit.

Pada tahun 1363 Masehi Hayam Wuruk melakukan kunjungan lagi ke Simping untuk melihat perbaikan candi dan melakukan upacara tahap terakhir renovasi bangunan tersebut. Pada Kitab Nagarakrtagama di uraikan sebagai berikut.
“….irikanganilastanah saka nrepeswara Warnnana, mahasahasi simping sang hyang dharma rakwa siralihen, saha widhi widhanasing lwir ning saji karma tan kurang, prakasita sangadyaksa mujaryya raja parakrama. Rasika nipuneng widya tatwo padesa siwa gama, sira ta mangadhistane sang sri nr-/-pa krta rajasa, {35a} duweginulahen tekang prasada gopura mekala, prakasita sangaryya nama krung prayatna wineh wruha. Nrpatinumulih sangke simping wawang dhatenging pura, prihati tekapi gring sang matryadi matri gaja mada, rasika sahakari wreddhya ning yawa waniring dangu, ri bali ri sadheng, wyaktiny-antuk nikanayaken musuh….”

Terjemahan:

“…. Pada tahun saka (ng) Anilastanah—1285 (1363 Masehi) Baginda Raja dikisahkan, Baginda Raja pergi ke Simping konon akan memindahkan candi, lengkap dengan upacara sajen-sajen yang teratur tak ada kurangnya, Sang Arya Raja Parakrama pengawas pemujaan itu amat terkenal. Beliau terkenal mahir dalam filsafat agama Siwa, Beliau memangku jabatan pada masa Baginda Sri Kertha Rajasa, waktu dilaksanakan pembangunan prasada dengan gerbang yang bergaris, terkenal bernama Arya Krung ditugaskan untuk mengawasinya. Baginda Raja kembali dari Simping, segera tiba di Istana, Baginda sangat sedih karena Maha Patih Gadjah Mada sakit. Beliau ikut mencurahkan tenaga demi kebesaran kerajaan Jawa dahulu, di Pulau Bali, Sadeng benar-benar berkat upaya beliau musuh dapat dimusnahkan..…” (Riana, 2009: 341-343).

AGASTYA PEMIMPIN MANDALA KAWI DAN KAILACA DI HASIN

AGASTYA PEMIMPIN MANDALA KAWI DAN KAILACA DI HASIN
Oleh: Ferry Riyandika


PENDAHULUAN
Tantu Panggelaran merupakan sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di Pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia serta mengisahkan tentang pendirian mandala-mandala di tanah Jawa khususnya di daerah Jawa Timur pada masa lampau. Tantu Panggelaran yang bertarikh saka 1557 (1635 Masehi) berbentuk bahasa Jawa Kuna. Penyusunan kitab ini terletak di Kabuyutan Nanggaparwwata (1924: 128). Perkembangan kisah pemindahan Gunung Mahameru di Pulau Jawa dalam Tantu Panggelaran ini dapat diceritakan secara ringkas sebagai berikut.
Pada mulanya Pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, Pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapkannya, sehingga agar tidak bergoncang lagi. Melihat keadaan tersebut para dewa mengangkat puncak Gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India (Jambudwipa) dan ditempatkan di Pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa Pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi (Soekmono, 1985: 47).
Dalam ajaran agama Hindhu dan Budhha dikenal adanya konsepsi makrokosmos (susunan alam semesta) bahwa alam semesta berbentuk lingkaran pipih seperti piringan dengan Gunung Mahameru sebagai titik pusat alam semesta merupakan tempat persemayaman para dewa. Sebelumnya, Jambudwipa damai dan tenang, tetapi tiba-tiba tanahnya berguncang dan terombang-ambing diterpa gelombang samudera. Akhirnya para dewa berusaha untuk memindahkan Gunung Mahameru ke Pulau Jawa yang masih aman sebagai tempat kehidupan manusia yang baru. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang Pulau Jawa antara lain di Jawa Timur menjadi Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjuna (Arjuno) dan Gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar pada gunung Brahma (Bromo) dan menjadi Gunung Semeru. Puncak Mahameru sendiri adalah Gunung Penanggungan atau Pawitra (Heine, 1982: 4-6).
Identifikasi tokoh Agastya di Jawa
Agastya dalam Candi Hindu aliran Siwa selalu di letakkan pada relung bagian Selatan. Dari Kitab Ramayana VII: 57 dapat diperoleh informasi tentang kelahiran Agastya dari ibunya yaitu Urwaci. Di kisahkan bahwa brahmana (Wasistha) dan raja (nimi) yang kehilangan tubuhnya akhirnya menemui Dewa Brahma. Mereka disarankan untuk memasuki benih dari Dewa Waruna dan Dewa Mitra. Dewa Mitra memiliki pasangan seorang bidadari bernama Urwaci. Saat Dewa Waruna melihat Urwaci, tertariklah untuk merayu Urwaci. Maka terjadilah perselingkuhan, setelah diketahui oleh Dewa Mitra maka Urwaci di usir dari kahyangan ke bumi. Jadilah Urwaci seorang manusia dan setelah genap waktunya maka lahirlah benih dari Dewa Waruna menjadi Agastya dan benih Dewa Mitra sebagai Wasistha (Poerbatjaraka, 1992: 3-6).
Dari cerita-cerita susastra dari India, Agastya dihubungkan dengan penaklukan Gunung Vindhya dan juga penyeberangan ataupun peminuman air laut di arah selatan sampai kering. Hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Agastya dalam mitologi Hindu merupakan tokoh yang diperintahkan untuk menyebarkan ajaran Weda ke arah Himalaya (Meru) ke selatan termasuk Nusantara (Poerbatjaraka, 1992: 43 ; Suwardono, 2001: 16).
Agastya ke Jawa mengembangkan suatu ajaran yang ternyata adalah ajaran Hindhu Siwa. Hal ini dapat kita lihat dari keterangan Kitab Smaradahana, dari masa raja Kamecwara I dari Kerajaan Daha, Kadiri. Dalam sarga XXXVIII: 13-14 yang terjemahannya adalah sebagai berikut:
” Ada satu negeri ditunjuk oleh Parwati. Negeri tengah di jawa yang teramat indah di selatan dikelilingi oleh laut garam seperti Meru, suci dan senantiasa dikunjungi oleh Rsi yang sangat di hormati Agastya. Sejarahnya dimasa lampau didengarkan. Buku termasyur kumara di kasmir dalam perjalanan yuga langsung disumpah oleh Dewa Civa menjadi pulau indah sekali, besar dan berbentuk lipung” (Krom, dalam Poerbatjaraka, 1992: 44).

Sebagai murid Siwa, Agastya diperintahkannya untuk menjaga gerbang masuk di arah selatan Mahameru. Hal ini sesuai dengan isi kitab Tantu Panggelaran dimana Kala dan Anukala menjaga gerbang barat dari Mahameru. Gana diposikan penjaga arah Timur, Ibu Gauri atau Durga Mahisasuramardini di sebelah utara, sedang Agastya sebagai murid spesial Siwa diletakkan untuk menjaga daerah selatan (Poerbatjaraka, 1992: 132). Menurut uraian Pigeaud (1924: 254), menyatakan bahwa ”tokoh-tokoh yang disini disatukan menjadi satu kumpulan sebagai penjaga Mahameru, sudah terkenal dan belum pernah digabungkan seperti itu dimanapun juga...”.
Pada umumnya di Nusantara, khususnya Jawa, Agastya disebut pula sebagai Siwa Mahaguru dengan ciri-ciri sebagai seorang tua berperut buncit (lambodhara), berjenggot tebal runcing, bertangan dua yang sebelah kanan membawa aksamala (tasbih) atau trisula dan sebelah kiri membawa kendi air kehidupan (kamandalu). Namun penyamaan Agastya dengan Siwa Mahaguru terdapat kontradiktif yang mencolok bila dilihat dari ciri arca dan gambaran dari literatur atau cerita tentang panteoan Hindhu tersebut. Dalam beberapa cerita historis, kita ambil contoh dari Pararaton saat raja Dandang Gendis (Kertajaya/ Crenga raja terakhir Panjalu, Kadiri) berubah wujud jadi Siwa Mahaguru, ciri-cirinya adalah bertangan empat dan memiliki mata ketiga, ciri khas Civa.
I ........ Dangdang Gendis angadegaken tumbak, ladayenipun tinancebaken ring lemah, sira ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur anandika: ..lah para bhujangga delengen kacaktiningsun. Sira ta katon acaturbhuja, atrinayana, saksat bhatara guru rupanira.......




Terjemahan:
I ...... Dangdang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraja berkata: ...nah, tuan-tuan bujangga, lihatlah kesaktian kami. Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, semata-mata bhatara guru lah perwujudannya..... (Padmapuspita, 1996, 21 ; 63).

Dari urain tersebut dapat disimpulkan bahwa Agastya tidak sama dengan Bhatara Guru (Siwa Mahaguru), melainkan merupakan penjelmaan dari Dangdang Gendis sebagai Bhatara Guru. Raja ini merupakan seorang pemuja Bathara Guru. Pemujaan ini biasanya dilakukan oleh anggota komunitas rsi yang biasanya bertempat tinggal di tempat sunyi pada lereng-lereng gunung dan di dalam hutan. Rsi pada umumnya telah tinggi pengetahuan keagamaannya, sehingga mereka lebih banyak memuja dewa di dalam fikirannya (manasa / antara-puja), dan tidak memerlukan arca atau benda lain untuk sarana pemujaan (Santiko, 1995: 127). Dengan adanya cara pemujaan dewa di dalam fikiran itu, sebagai rsi (rajarsi) maka Raja Kadiri terakhir (Dandang Gendis) memiliki ilmu keagamaan yang berkeyakinan dapat bersatu dengan dewa yang dipujanya. Tidak mengherankan apabila Krtajaya dalam Kitab Pararaton dilukiskan mengubah diri sebagai Bhatara Guru guna meyakinkan para pujangga akan klaimnya sebagai penjelmaan Dewa Siwa di dunia.
Suatu peninggalan di Candi Deogarh dan Travancore yang berasal dari masa Gupta dinasti Maurya, India, terdapat arca Agastya namun memiliki bentuk tubuh yang ramping tidak buncit seperti umumnya di candi-candi Jawa. Di Indonesia, Dalam ”Oudheidkundige Verslag 1923” (bijlage K) pada gambar-gambar koleksi Museum Sriwedari, tokoh No. A, yang oleh Bosch diberi nama Maitreya, namun sangat jelas sekali merupakan ciri-ciri dari Agastya yang memiliki kumis dan janggut runcing , dan juga terlihat kendi di tangan kiri yang diletakkan rendah. Bentuk arca ini juga normal (tanpa perut buncit) juga tidak terdapat yajnopawita (Poerbatjaraka, 1992: 134-135).
Di Malang tepatnya di lereng Timur Gunung Kawi di Dukuh Gasek, Desa Karangbesuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, terdapat situs kecil yang diberi nama Candi Karangbesuki. Di situs inilah ditemukan arca tokoh Agastya, Arca ini dahulu ditempatkan di dalam punden makam di bawah pohon beringin. Karena bencana angin dahan pohon beringin tersebut putus dan menimpa punden makam. Akhirnya arcanya kemudian diamankan dan dirawat oleh pihak SDN Karangbesuki 3 (Suwardono, e.a, 1996: 7). Oleh pemerintah Kota Malang, akhirnya sekarang disimpan di dalam BP3 Mpu Purwa Kota Malang.
Ciri dari tokoh ini adalah orang tua berjenggot runcing, perut ramping, bertangan dua, sebelah kanan membawa trisula dan sebelah kiri telah putus. Dari tangan sebelah kiri yang sikapnya agak diturunkan kebawah, maka dapat disimpulkan, bahwa patahan pergelangan tangan arca ini membawa sebuah kamandalu. Prasasti Dinoyo I pada sekitar abad VIII tersebut mengisahkan tentang peristiwa peresmian arca Aghastya baru yang dibuat dari batu hitam yang indah. Arca ini dimaksudkan sebagai pengganti bagi arca terdahulu yang terbuat dari kayu cendana dan ketika itu sudah lapuk sama sekali. Pada perhelatan keagamaan itu raja menghadiahkan pula bangunan untuk keperluan kerja bagi para brahmana dan perumahan untuk menampung para tamu, beserta persediaan makanan, tempat tidur dan pakain (Soekmono, 1977: 116: Cahyono, 2006: 4). Raja membuat bangunan suci (candi) yang sangat bagus bagi sang maharesi (Agastya) ini digunakan untuk sarana membinasakan penyakit yang menghilangkan (semangat) (Poerbatjaraka, 1976: 92-98). Pembangunan tempat tersebut sesuai dengan nama desa yang sekarang di tempatkan Candi Karang Besuki, yaitu tempat keselamatan.
Identifikasi Nama Gunung Kawi
Gunung Kawi merupakan batas alam antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Malang. Gunung ini terdiri dari Gunung Kawi-Butak (2651 m dpl-2868 m dpl) (Bemmelen, 1949: 30), ternyata ditilik dari segi historisnya, telah dikenal sejak masa pemerintahan Kerajaan Kanjuruhan, yang kala itu berpusat di daerah Malang. Kerajaan Kanjuruhan ini meninggalkan kepada kita tentang informasi penting tentang keberadaan Gunung Kawi yang termaktub dalam Prasasti Dinoyo I, yang bertarikh Saka 682 (760 Masehi).
Prasasti tersebut memuat inti tentang adaanya seorang raja yang bijaksana dan berkuasa yang bernama Dewasigha. Di bawah naungan pemerintahannya, api putikecwara memancarkan sinarnya, yang menerangi kelilingnya. Seorang anaknya, yakni raja Gajayana seorang raja pelindung manusia memiliki putri yang bernama Uttejana. Raja tersebut memberi ketentraman kepada Brahmana dan rakyat pemuja Agastya. Raja membuat bangunan suci (candi) yang sangat bagus bagi sang maharesi (Agastya) untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan (semangat) (Poerbatjaraka, 1976: 92-98).
Berdasarkan keterangan dalam Kitab Tantu Pagelaran, Agastya mendapatkan pertapaan di Gunung Kawi. Semenjak itu Gunung Kawi menjadi miliknya, yakni sebagai tanda penugasan bagi Batara Guru (Ciwa). Berikut kutipan dari teks Tantu Panggelaran:
”Ucapen ta laksana bhatara Jagatwicesa, anggasta yinuganira hinasti, siniramning tatwamrtha ciwamba, yinuganira matmahana dewata purusangkara. Inararan bhagawan Agasti, inanugrahan kawikun de bhatara, kinwan matyapaha ring gunung kawi. Tinher makadrwya kang gunung kawi pinakapacihna pawkas bhatara Guru” (Pigeaud (1924: 92).

Artinya:
”Untuk bicara tentang cara-cara Batara Jagadwicesa; dia mengarahkan yoganya pada ibu jarinya, dan menjadikannya abu, yang kemudian disiramnya dengan air suci Tattwamrta dan melakukan yoga, sehingga menjadi dewata bertubuh manusia. Dia mendapatkan nama Agasti yang terhormat; sebagai tanda kehormatan dia menerima kedudukan wiku dari Bhatara, dan menerima perintah melakukan pertapaan di Gunung Kawi. Sejak itu gunung Kawi menjadi miliknya, sebagai tanda penugasan Bhatara Guru” (Poerbatjaraka, 1992: 40).

Adapun nama “Kawi” berasal dari kata “Kavya (Kawi)”, yang berarti syair yang dilagukan. Ada pula yang menghubungkan istilah ini dengan “awi” yang berarti golongan orang-orang di antara “watek i jro” (manilala drwya haji) (Zoedmulder, 1995: 475 ; 86). Oleh karenanya, Gunung Kawi adalah sebuah gunung yang pada masa lampau banyak dikenal oleh para pertapa, rsi atau bujangga sebagai tempat pertapaan dan tempat pembuatan syair (Kawi).
Lokasi Gunung Kawi juga didukung oleh uraian dari kisah perjalanan Bujangga Manik di daerah tersebut.
“……cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana. Sadatang ka Pamijahan…..”

Terjemahan:
“.......tiba ke Sagara Dalem, berjalan lewat Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, dijelajahi arah selatannya. Setiba ke Pamijahan……” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).

Nama Sagara Dalem dalam urain kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak diantara Gunung Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada disebelah barat Gunung Semeru. Nama Dukuh Sagara Dalem merupakan nama lama untuk sebuah Dukuh Segaran yang terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303). Kagenengan pada masa sekarang merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Malang yaitu Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak Kecamatan Pakisaji atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat dimana terdapat suatu kelompok komunitas keagamaan (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 513).
Oleh sebab itu dapat difahami jika Candi Badut, Candi Karang Besuki dan Candi Songgoriti di Batu dinyatakan sebagai tempat pemujaan terhadap Bathara Guru, bahkan Candi Sirahkencong yang terletak di barat daya atau selatan kaki Gunung Kawi juga digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Bathara Guru (Riyandika, 2010: 3).

Identifikasi Nama Macin (Hasin).
Dalam Kitab Tantu Panggelaran diberitakan bahwa Agastya melakukan perjalanan untuk mengunjungi Bhagawan Markandeya di Mandala Kailaca di Hasin, berita tersebut dikutip sebagai berikut:
“.......... Kari tang raray manangis makanangkanangan. Tuminghal ta Bhagawan Agasti, mawlas tumon ambeknira ring kesesinikang raray tininggalaknibhunya. Sinambutnira tang raray, nher dinus dinulangnira, iningunira ring yoga samadi. Atuha tang raray wkasan, winawanira mangulwan maring macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala Bhagawan Markandeya.........” (Pigeaud, 1924:126).

Artinya:

“.......... anak-anak yang ditinggalkan itu menangis berteriak. Agasti yang terhormat itu melihatnya. Dia merasa kasihan menyaksikan keadaan anak-anak yang memilukan, karena ditinggal oleh ibu mereka. Dia mengambil anak-anak itu, membasuhnya, memberinya makanan dan merawatnya dengan yoga dan semedi. Ketika anak-anak laki-laki itu akhirnya menjadi dewasa, dibawanya mereka kebarat, ke Masin, kepuncak Kailaca di Mandala Markandeya yang terhormat......” (Poerbatjaraka, 1992: 51-52).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam uraian Kitab Tantu Panggelaran diberitahukan bahwa Agastya yang berasal dari Gunung Kawi melakukan perjalanan bersama kedua anak angkatnya ke arah barat untuk mengunjungi Bhagawan Markandeya di Mandala Kailaca di Hasin.
Nama Hasin atau Macin mengingatkan kita pada Prasasti Baru yang bertarikh Saka 952 (1030 Masehi) prasasti ini merupakan tamraprasasti (prasasti logam) yang keberadaannya sekarang di Kota Surabaya. Pada prasasti ini dikatakan bahwa Raja Airlangga memberikan hadiah tanah sebagai sima kepada warga Baru dikarenakan raja telah berdazar apabila raja mengalahkan Raja Hasin maka Desa Baru akan dianugerahkan tanah sima (Sumadio, 1992: 180-181).
Dimanakah letak Hasin?. Dalam isi kitab Tantu Panggelaran, Hasin atau Macin merupakan daerah yang terletak di “ ....mangulwan maring Macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala Bhagawan Markandeya.........” (mereka kebarat, ke Masin, kepuncak Kailaca di Mandala Markandeya yang terhormat), “ ....saking Pacira mangulwan maring Macin...” (dari Pacira kebarat sampailah di Macin) dan “...... sira saking Macin, mangetan sira tumut ta sira bhatari Paramecwari. Mararyyan ta sira ring Gunung Wilis...” (dari Macin kearah timur ikutlah bhatari Paramecwari. Tibalah sampai di Gunung Wilis) (Pigeaud, 1924:126: 70; 84).
Menurut Poerbatjaraka (1992: 52), daerah Macin, atau Hasin harus dicari di Barat Gunung Kawi dan dalam Kitab Parararon telah diberitakan tentang istri-istri Raja Dandang Gendis (Krtajaya) diantaranya Dewi Hasin (1976: 40). Macin atau Hasin dalam kitab Tantu Panggelaran terletak di sebelah barat Gunung Wilis serta juga di sebelah barat Pacira. Bila daerah Pacira berada di timur Hasin atau Masin, maka daerah ini harus dicari diantara lembah Gunung Kawi ke barat hingga lembah atau kaki gunung di wilayah barat Gunung Wilis. Di daerah Kabupaten Tulungagung terdapat nama yang mirip dengan nama Pacira yaitu Pasir. Pasir merupakan nama dukuh yang terletak di Desa Junjung Kecamatan Sumber Gempol. Lokasinya di sisi utara Pegunungan Kapur Selatan. Di dusun tersebut terdapat beberapa peninggalan arkeologi yang salah satunya berupa Situs Gua Pasir yang dahulu digunakan sebagai karsyan. Hal ini didukung dengan pahatan dinding berupa adegan seorang petapa yang sedang digoda oleh hawa nafsu.
Dalam situs tersebut menurut Krom (1923) dan Verbeek terdapat kronogram Saka 1325, 1224 Saka, dan 1228 Saka yang menunjukkan pada era Majapahit. Menurut Munandar disebutkan bahwa Situs Gua Pasir sejaman dengan Gua Selomangleng. Berdasarkan persamaan bentuk pahatannya yan diperkirakan berasal dari abad X-XI Masehi sampai pada masa Kerajaan Majapahit (Cahyono, 2010: 20-21).
Apabila anggapan ini benar, maka Hasin atau Macin letaknya harus dicari di sebelah barat Dukuh Pasir. Di wilayah Kabupaten Trenggalaek terdapat sebuah nama Sungai yang mengalir kearah Kabupaten Tulungagung yaitu Sungai Ngasinan yang sumber airnya berasal dari Gunung Wilis. Sungai ini merupakan salah satu bagian hulu Sungai Brantas yang alirannya kemudian masuk ke Sungai Ngrowo dan terakhir ke Sungai Brantas. Apabila Sungai ini benar dan dapat di setujui maka Ngasinan merupakan nama arkhais dari Hasin atau Macin, tempat raja Hasin berkuasa maka tepat sekali apabila daerah Hasin atau Masin yang terletak di Kabupaten Trenggalek di tempatkan di sebelah barat Dukuh Pasir, Kabupaten Tulungagung.
Hal ini dapat di dukung dan diperkuat juga dengan apa yang diterangkan dalam Prasasti Baru yang dikeluarkan Raja Airlangga diatas, bahwa Baru merupakan sebuah watek atau paraman yang ditujukan untuk pemujaan (kabaktyan) terhadap sang hyang huwan sang hyang depur sang hyang kawyolan sang hyang roh. Nama salah satu tempat pemujaan tersebut terdapat nama sang hyang kawyolan. Nama ini boleh jadi sekarang menjadi Desa Kamulan. Sedangkan nama Desa Baru yang termuat dalam Prasasti Baru boleh jadi sekarang menjadi Desa Baruharjo. Ketiga nama tempat tersebut yaitu Sungai Ngasinan, Baruharjo, dan Kamulan sekarang berada di Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Namun di sebelah utara Kabupaten Trenggalek tepatnya di Kabupaten Ponorogo terdapat Sungai Asin. Tidak menutup kemungkinan Hasin merupakan kawasan yang letaknya di antara Sungai Ngasinan di Trenggalek dan Sungai Asin di Ponorogo. Krtajaya Sendiri dalam Kitab Pararaton di jelaskan bahwa memiliki istri tiga diantaranya adalah Dewi Hasin.
Sedangkan nama Kailaca dalam Tantu Panggelaran disebutkan sebagai berikut “. …maring macin, datang ring arggha Kelaca, ring mandala Bhagawan Markandeya.........” (Pigeaud, 1924:126) yang berarti “…..ke Masin, kepuncak Kailaca di Mandala Markandeya yang terhormat......” (Poerbatjaraka, 1992: 51-52). Dimanakah letak puncak Kailaca?. Di Kecamatan Pogalan, Desa Ngadirenggo terdapat sebuah anak Gunung Wilis bagian barat daya, tepatnya bukit yang bernama Gunung Tumpaknyadran yang dibawahnya di aliri Sungai Ngasinan. Nama Tumpaknyadran memiliki arti “Tumpak” yaitu “naik”, sedangkan “Nyadaran” adalah suatu kegiatan upacara keagamaan atau ritual suatu keagamaan atau kepercayaan guna untuk memperoleh sesuatu dan keselamatan. Jadi nama Gunung Tumpaknyadran merupakan gunung yang digunakan untuk suatu tempat kegiatan upacara keagamaan atau ritual keagamaan untuk mencari berkah.
Hal ini dapat dipertegas lagi bahwa di dekat Gunung Tumpaknyadran yaitu disebelah utara terdapat nama Gunung Sentono. Sentono memiliki pengertian tempat persemayaman. Pengertian kedua istilah ini sama dengan puncak Kailaca yang dimana merupakan sebuah tempat penjaga kediaman Dewa Siwa. Apabila kita hubungkan dengan Gunung Wilis yang merupakan salah satu gunung suci di Jawa, maka dengan apa yang dikatakan dalam Kitab Tantu Panggelaran sesuai dan sinkron, dimana disebutkan bahwa Agastya merupakan penjaga kediaman Dewa Siwa bagian selatan (Poerbatjaraka, 1992: 130).
Selain itu di Kabupaten Trenggalek tepatnya di Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan terdapat tinggalan arkeologi berupa struktur bangunan candi. Candi tersebut bernama Candi Brongkah yang letaknya tidak begitu jauh dengan Sungai Ngasinan. Apakah situs ini memiliki kaitannya dengan Raja Hasin atau tempat mandala Bhagawan Markandeya masih harus diteliti lebih lanjut.

Tinggalan Arkeologi per Kecamatan di kabupaten Blitar dan Kota Blitar

Kec. Kademangan: Candi Besole, Prasasti Besole, Candi simping, situs Jimbe, Yoni dan arca raksasa, batu candi di Desa Kademanagan.

Kec Selorejo: Situs Boro, Situs Jarangan, Situs Rondo Kuning, Situs Selorejo, Situs jago di Pohgajih,

Kec Wonodadi: prasasti Padlegan I-II, situs kunir (relief berangka tahun 1102 S)

Kec Udanawu: petilasan angling darmo,

Kec Binangun: situs Kedungwungu,

Kec Srengat: Mleri, pertapan, Situs Cobanteng ngaglik,

Kec Ponggok: Kalicilik, sumbernanas, situs prambutan,

kec sanankulon: Situs Kedung wringin (sumberingin), ganesa boro, angka tahun 1124 S di tuliskriyo, situs Jeding, situs Sumberbuntung,

Kec Kesamben: Prasasti tahun 1270 M sekarang gak ngerti, Candi selotumpuk, tepas, koleksi arca Tapakrejo dan koleksi Sanggrahan, Situs Brongkos, Prasasti Gogoniti.

Kota Blitar: P. Karang tengah, arca di kantor kabupaten Blitar, Prasasti Petung ombo di pendopo kabupaten Blitar asal perkebunan petung ombo garum, Situs Swangsang, Situs aryo blitar, situs tanggung,

Kec Wonotirto: Prasasti Gunung Nyamil 1287 M.

Kec Nglegok: Prasasti Kinwu 907 M, Petilasan ken arok di situs klampok jiwut, situs Palulo, Penataran, P. palah, parthitaan luar candi penataran, situs Arca warak, Selobale, candi Gambar wetan, candi Dayu, situs Krenceng, situs Bangsri,

Kec Garum: Prasasti ganesa karang rejo 1134 M, situs combong, situs slorok (nandi berangka tahun 1475 M),

Kec Kanigoro: reco gaprang, candi sawentar 1 dan 2, Prasasti Bangle, situs jatinom, situs minggir sari.

Kec Doko: candi dan Prasasti Plumbangan, menhir di Desa Resepombo,

Kec Talun: P. Pagiliran 1134 M, situs Tapan, situs jeblog, Prasasti di desa durenan sekarang gak tau,

Kec Gandusari: Kotes, Sukosewu, rambutmonte, Slumbung, Situs Butun, Wringin lawang, Sumber agung ! dan 2.

Kec Wlingi: P. Ukirnegara (mpu tantular sekarang), Sirahkencong, Pijiombo, situs Rini, P. Talan 1136 M.

Kec Selopuro: P. Jepun 1144 M, situs Madesan, Situs Mronjo, Situs Cungkup Ploso, Situs Jabon, batu bertulis 153... C,

Kec Sutojayan: Prasasti Jaring 1181 M, candi Bacem, situs recobanteng, situs pandanarum (arca tokoh dan batu bertulis 1336 M.

Perjalanan Bujangga Manik ke Blitar

  “……cu(n)duk ka Sagara Dalem, ngalalar ka Kagenengan, sumengka ka Gunung Kawi, disorang kiduleunana. Sadatang ka Pamijahan…..” Terjemahan: “.......tiba ke Sagara Dalem, berjalan lewat Kagenengan, mendaki Gunung Kawi, dijel...ajahi arah selatannya. Setiba ke Pamijahan……” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).   

Nama Sagara Dalem dalam urain kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak diantara Gunung Mahameru (Semeru) dan Kagenengan yang berada disebelah barat Gunung Semeru. Nama Dukuh Sagara Dalem merupakan nama lama untuk sebuah Dukuh Segaran yang terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303). Di dukuh ini pernah terdapat temuan-temuan arkeologi yang berupa sejumlah batu bata kuno di Punden “Mbah Cengkaruk”, selain itu juga di tetangga Dukuh Segaran kurang lebih 400 m keselatan yaitu di Dukuh Watudakon terdapat sekumpulan batu candi yang mirip seperti permainan dakon, yang kemungkinan pada masa lampau digunakan sebagai sarana ritual keagamaan tertentu (Sidomulyo, 2007: 103), kemungkinan juga sebagai alt untuk menghitung hari (pertanggalan). 

Setelah itu perjalanannya menuju Kagenengan. Nama Kagenengan pada masa sekarang merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Malang yaitu Genengan yang terletak di sebelah barat Desa Kendalpayak Kecamatan Pakisaji atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir.  Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat dimana terdapat suatu kelompok komunitas keagamaan (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 513).   Dalam uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa Kagenengan merupakan sebuah pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok). Dari Kitab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. “…..Krama subhakala sah nira ri singhasari mangidul mare kagenengan, humaturaken kabhaktini bhatara dharmma sawatekwatek nira tumut…” (pada hari baik Baginda berangkat dari Singhasari ke selatan menuju Kagenengan, melakukan sembah bakti sujud pada Bhatara Dharma (leluhur) bersama seluruh pengiringnya…”). Selanjutnya disebutkan bahwa putra sri Girindra (Ken Angrok/ Rajasa) pada tahun 1149 Saka (1227 Masehi) meninggal dan diabadikan di Kagenengan berwujud Siwa Buddha  (“….ring saka syabdhi rudra krama kalahanira mantukang swargga loka, kyating rat sang dhidharmma dwaya ring kagenengan sewa boddhengusana). Selain itu dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Kagenengan merupakan tempat pendharmaan yang harus dijaga dan dicatat agar tidak timbul perselisihan pada keturunan Hayam Wuruk. “….Keh nikanang sudharma haji kaprakasita makadi ring Kagenengan ….”. (“…..jumlah candi-candi makam raja tersebut yang pertama di Kagenengan…..”) (Riana, 2009: 185, 207, 356). Selain itu pada Prasasti Mula-Malurung lempeng IIb disebutkan tentang pendharmaan kakek Wisnuwardhana yang terletak di Kagenengan (…makaswa rupan wisnwarccha nankane sang hyan dharmme kagnenan….”) (Kartakusuma, 2002: 5).   Di Desa Genengan, Kecamatan Pakisaji pernah ditemukan tinggalan arkeologi berupa lingga dari batu andesit. Sedangkan di Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo. Kecamatan Wagir di tanah sebelah selatan terdapat sebidang tanah tinggi yang diapit oleh dua sungai/ jurang (Sokan) terdapat pecahan batu bata berukuran besar, fragmen batu, dan lingga kecil. Selain itu di Sokan juga ditemukan arca, guci dan sebuah prasasti batu, namun keberadaanya sekarang tidak diketahui lagi. Menurut informasi warga setempat meyakini bahwa makam Ken Angrok berada di puncak Gunung Katu yang berada tidak jauh di sebelah barat dusun ini (Sidomulyo, 2007: 79-80).   

Setelah dari Kagenengan Bujangga Manik menuju ke Gunung Kawi. Jadi arah perjalanannya ke barat. Berdasarkan keterangan dalam Kitab Tantu Pagelaran, Agastya mendapatkan pertapaan di Gunung Kawi. Semenjak itu Gunung Kawi menjadi miliknya, yakni sebagai tanda penugasan bagi Batara Guru (Ciwa). Berikut kutipan dari teks Tantu Panggelaran: ”Ucapen ta laksana bhatara Jagatwicesa, anggasta yinuganira hinasti, siniramning tatwamrtha ciwamba, yinuganira matmahana dewata purusangkara. Inararan bhagawan Agasti, inanugrahan kawikun de bhatara, kinwan matyapaha ring gunung kawi. Tinher makadrwya kang gunung kawi pinakapacihna pawkas bhatara Guru” (Pigeaud (1924: 92).  Artinya: ”Untuk bicara tentang cara-cara Batara Jagadwicesa; dia mengarahkan yoganya pada ibu jarinya, dan menjadikannya abu, yang kemudian disiramnya dengan air suci Tattwamrta dan melakukan yoga, sehingga menjadi dewata bertubuh manusia. Dia mendapatkan nama Agasti yang terhormat; sebagai tanda kehormatan dia menerima kedudukan wiku dari Bhatara, dan menerima perintah melakukan pertapaan di Gunung Kawi. Sejak itu gunung Kawi menjadi miliknya, sebagai tanda penugasan Bhatara Guru” (Poerbatjaraka, 1992: 40).   Adapun nama “Kawi” berasal dari kata “Kavya (Kawi)”, yang berarti syair yang dilagukan. Ada pula yang menghubungkan istilah ini dengan “awi” yang berarti golongan orang-orang di antara “watek i jro” (manilala drwya haji) (Zoedmulder, 1995: 475 ; 86). Oleh karenanya, Gunung Kawi adalah sebuah gunung yang pada masa lampau banyak dikenal oleh para pertapa, rsi atau bujangga sebagai tempat pertapaan dan tempat pembuatan syair (Kawi).   

Dari toponimi daerah yang dilaluinya, Bujangga Manik melakukan perjalanan menjurus langsung kebarat. Jadi yang ditempuh bukan Gunung Kawi melainkan adalah Gunung Butak yang terletak di selatan Gunung Kawi. Selanjutnya Bujangga Manik menjelajahi tempat yang terletak di arah selatan yaitu di Pamijahan. Nama Pamijahan keberadaanya tidak terlancak. Apabila melihat rute yang dilalui Bujangga Manik ke selatan, maka boleh jadi menuju Candi Sirahkencong yang terletak di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar. Di situs ini memiliki tinggalan dan temuan berupa Prasasti Ukir Negara bertarikh Saka 1120 (1198 Masehi) dan 1304 Saka (1382 Masehi) (Issatriadi 1975: 1), Jaladwara yang memuat relief cerita Samodramanthana atau Amerthamanthana yang sekarang disimpan di Museum Pusat Jakarta (Soekmono, 1985: 43-48), kronogram bertarikh Saka 1389 (Knebel, 1908: 174), umpak, dan arca dwarapala. (Sukamto, tanpa tahun: 8). Di Situs ini terdapat bangunan altar candi. Pada altar candi ini terdapat relief cerita Bubuksah- Ganggangaking, yang terletak di bangunan I, bangunan II terdapat relief cerita Samodramanthana atau Amertamanthana, dan pada bangunan III terdapat relief cerita Bima mencari Tirthamanthana, yang merujuk pada Kitab Nawaruci (Riyandika, 2010: 78-84). Selain itu juga ditemukan lampu perunggu berujung lingga (Hariyono, 2001: 136),   Di barat Situs Candi Sirahkencong terdapat sebuah Dukuh bernama Pijiombo. Jarak antara perkebunan Pijiombo dan Sirahkencong ± 4 km. Pada Dukuh Pijiombo terdapat tinggalan arkeologi masa Hindhu- Buddha, yang berupa arca singa (?). Warga setempat menyebutnya dengan Anoman berukuran 0,65 m, arca Emban (?) berukuran tinggi 0,78 m, arca Trijata dalam posisi duduk (?) dengan tinggi 0,56 m, bak air yang pada dindingnya berhiaskan bunga padma dengan panjang 0,57 m, kepala gajah dengan tinggi 0,60 dan diameter 0,40 m, serta tiga buah fragmen miniatur candi dengan tinggi 0,49 m, panjang dan lebar 0,25 m. Selain itu terdapat tiga buah arca dwarapala (Knebel, 1908: 166-167 ; Arnawa, 1991: 41-44). Apakah nama Pamijahan ini  merupakan nama lain dari Pijiombo. Apabila pendapat ini benar maka Pamijihan nama arkhais dari Pijiombo (Pa-biji/ miji-an menjadi Pamijahan atau Pamijen) Namun hal ini perlu dilakukan penelitian ulang agar keberadaan rute perjalanan Bujangga Manik di kawasan ini memperoleh kebenaran.   

Selanjutnya Bujangga Manik melakukan perjalanan menuju Gunung Kampud. Dalam uraian kisah perjalanannya diuraikan sebagai berikut.  “…..leu(m)pang aing ka baratkeun, ngalalar ka Gunung Anyar, cu(n)duk aing ka Daliring. Sadatang ka Gunung Ka(m)pud……” (“……aku berjalan ke arah barat, melewati Gunung Anyar, tibalah aku di Daliring. Setibanya ke Gunung Kampud…”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).   

Setelah dari Pamijahan (Pijiombo) perjalanan Bujangga Manik mengarah kebarat yaitu di Gunung Anyar dan sampailah ke Daliring. Nama Gunung ini juga termuat dalam Kitab Pararaton yang mengatakan bahwa pada tahun 1376 Masehi,  “…hana gunung anar…” (ada atau muncul sebuah gunung baru) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 514). 

Nama Gunung Anyar dan Daliring sebelum menuju Gunung Kampud (Kelud) belum terlacak keberadaanya. Boleh jadi Daliring sekarang bernama Wringinbranjang karena memiliki kemiripan nama. Situs ini terletak di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Candi Wringinbranjang memiliki bentuk seperti rumah dan kesemuanya terbuat dari batu andesit dari atas sampai bagian kaki candi. Arah hadap candi Wringin Branjang menghadap ke utara. Candi Wringin Branjang memiliki keunikan tersendiri dari candi-candi lainnya, selain bentuknya menyerupai rumah, bangunan ini pun terletak di Bukit Gedang. Sedangkan gapura di Situs Wringinbranjang terletak 200 meter ke utara dari Candi Wringinbranjang. Gapura menghadap ke selatan dan berorientasi ke utara, sisi timur dan baratnya diperlengkapi dengan pagar atau sayap terbuat dari batu yang sama yaitu batu andesit. Menurut Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur (1995: 4-9), di reruntuhan sisa struktur gapura juga terdapat batu ambang (kemungkinan atas) dalam keadaan patah yang dilengkapi dengan ceruk polos daun pintu. Di sebelah utara gapura terdapat struktur susunan batu andesit berjenjang , setinggi 12 jenjang.  Dari  gapura ke utara terdapat sisa susunan batu andesit I, setinggi dua lapis. Pada lapis batu pertama dan kedua dihiasi oleh pelipit, sebuah lapik arca berukuran berhiaskan ornamen naga pada sisi kanan-kirinya yang menyatu dengan dinding utara (belakang) bangunan. Pada bagian tengah permukaan lapik diperlengkapi ceruk yang dikelilingi lingkaran yang berdiameter 55 cm. Bagian depan lapik terdapat undakkan setinggi 20 cm dan lebar 19 cm. Diatas dinding terdapat batu-batu yang ditumpuk. Di sebelah barat bangunan ini kira-kira 22 meter terdapat tumpukan batu yang memanjang ke utara-selatan, diantara batu tersebut terdapat sebiji batu ambang dengan ceruk poros daun pintu dalam keadaan terpotong. Selain itu terdapat empat buah batu berbentuk limas terpancung (umpak) di sekeliling sisa struktur gapura, sehingga dapat diperkirakan merupakan penyangga tiang yang berbahan yang mudah aus. Dilihat dari bangunannya Situs Wringinbranjang merupakan situs masa Majapahit yang setidaknya memiliki tiga teras. Teras pertama adalah Candi Wringinbranjang sendiri, teras kedua berupa gapura, struktur susunan batu andesit berjenjang  dan ditemukan empat buah umpak, kemungkinan gapura Situs Wringin berbentuk gapura paduraksa yang kemungkinan pagarnya berbentuk sayap, sedangkan teras ketiga berupa sisa susunan batu andesit I dan sisa susunan batu andesit II yang berbentuk persegi, dimana pada susunan batu andesit II berbentuk persegi ditemukan lapik arca yang berhiaskan ornamen naga dan lapisan pada dua lapisan paling atas dihiasi pelipit. Dilihat dari fungsinya Situs Wringinbranjang merupakan tempat krsyan pada masa Kerajaan Majapahit. Apakah Gunung Hanyar nama lain untuk Gunung Gedang pada masa sekarang dan puncaknya bernama Daliring (Wringinbranjang)?. Hal ini perlu diadakan penelitian ulang guna mengetahui secara tepat akan keletakan daerah yang di lalui Buyangga Manik di wilayah ini.   

Setelah dari Daliring (Wringinbranjang), Bujangga Manik melakukan perjalanan lagi hingga ke Gunung Kampud. Jadi arah rute perjalanan Bujangga Manik dari Pamijahan ke Gunung Anyar adalah menjurus kebarat dan membelok ke utara sehingga sampai ke Daliring. Gunung Kampud merupakan nama arkhais dari Gunung Kelud. Pendapat ini didukung dari ulasan isi Kitab Tantu Panggelaran yang dimana Gunung Kelud sering disebutkan dengan nama Gunung Kampud. Selain itu disebutkan juga dalam Kitab Nagarakrtagama dan Pararaton. Nama Kampud (Kelod) juga masih dikenal di sebagian masyarakat Bali, terutama pada acara-acara keagamaan di lingkungan pura di wilayah Bali. Seperti halnya nama Desa Tambahan Kelod di Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli (Gudel, M, 2006: 4-7) yang mempunyai pengertian “tambahan bagian selatan” (Damais, 1995: 138). Sebutan ini nampaknya berasal dari penguasa kerajaan yang terletak di bagian utara Gunung Kampud/ Kelud, yakni Kerajaan Kadiri, Singosari dan Kerajaan Majapahit.  

Setelah dari Gunung Kampud, Bujangga Manik melakukan perjalanannya menuju Rabut Palah, yaitu ke arah selatan gunung ini. Dalam kisah perjalanannya dapat diuraikan sebagai berikut.   “……datang ka Rabut Pasajen, Eta hulu Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu dise(m)bah ku na Jawa. Maca (a)ing Darmaweya, pahi deung Pa(n)dawa Jaya. Ti inya lunasing jobrah, aing bisa carek Jawa, bisa / aing ngaro basa. /19/. Di inya aing teu heubeui, satahun deung sataraban. Ha(n)teu betah kage(n)teran, datang nu puja ngancana, nu nye(m)bah ha(n)teu pegatnanu ngideran ti nagara……” Terjemahan: “……datang ke Rabut Pasajen. Itulah dataran tinggi Rabut Palah, tempat suci bagi Majapahit, yang disakralkan orang Jawa. Aku membaca Darmaweya, Bersama dengan Pandawa Jaya. Setelah itu keingintahuanku tercapai, aku bisa berbahasa Jawa, aku mampu berdwibahasa. Aku disitu tak lama, selama setahun lebih. Tidak kerasan dalam kegaduhan, kedatangan para pemuja keduniawian, para penziarah tak ada hentinya para pengunjung dari perkotaan.…..” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).   

Setibanya dari Gunung Kampud (Kelud), Bujangga Manik meneruskan perjalanannya ke Rabut Pasajen. Nama Rabut Pasajen terdiri dari dua kata yaitu Rabut dan Pasajen. Menurut Poerbatjaraka (1992: 60), ”Rabut” berasal darai kata ”buyut” yang diperas dan disingkat menjadi ”but” dan ditambah kata awalan ”ra” (sebagai penghormatan), sehingga ”rabut” memiliki pengertian tempat suci yang dihormati. Sedangkan ”Pasajen” (Pa-saji-an) berasal dari kata ”saji” yang berarti menaruh atau meletakkan suatu barang untuk dihidangkan. Jadi Rabut Pasajen merupakan suatu  tempat suci yang digunakan untuk sarana upacara persembahan suatu hidangan kepada roh leluhur atau nenek moyang. Hal ini diperkuat oleh keterangan Noordyun & A. Teeuw (2009: 514), bahwa Rabut Pasajen juga merupakan hulu (kepala) kuil Palah yang letaknya di tempat yang lebih tinggi di pegunungan Kampud (Kelud).   Dimanakah letak daerah tersebut, apabila sebelumnya dari Gunung Kampud (Kelud) dan setelahnya langsung menuju Rabut Palah. Melihat tinggalan arkeologinya kemungkinan Candi Gambar Wetan merupakan nama lama dari Rabut Pasajen. Pada Candi Gambar Wetan terbagi menjadi tiga bagian berjajar memanjang keutara (belakang). Bangunan induk terletak di bagian belakang sehingga menimbulkan kesan berundak. Menurut Hoepemants (1913) dalam Kristiana (1996: 48) menjelaskan bahwa Candi Gambar Wetan ini terdiri dari enam bangunan. Bangunan candi pertama dan kedua terbuat dari batu andesit dan bangunan ketiga sampai keenam terbuat dari batu bata, namun bangunan ketiga hingga enam keberadaannya sekarang tidak diketahui. Selain itu di Candi Gambar Wetan terdapat kronogram di bawah kaki (lapik arca) yang bertarikh Saka 1360 atau 1438 Masehi dan pada halaman kedua terdapat pahatan angka tahun yaitu 1298 Saka (1376 Masehi). Jadi dapat disimpulkan bahwa perjalanan Bujangga Manik dari Gunung Kampud (Kelud) ke arah barat daya langsung menuju Candi Gambar Wetan (Rabut Pasajen).   

Setelah dari Rabut Pasajen (Candi Gambar Wetan), melanjutkan perjalanannya menuju ke Rabut Palah. Nama Palah merupakan nama tempat suci yang termuat dalam prasasti di dalam Komplek Candi Penataran. Dalam prasasti yang berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, dikeluarkan oleh Raja Crengga dari kerajaan Kadiri, menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah. Menurut para sarjana yang dimaksud Palah adalah Panataran (Wisnoewhardono, 1988:9). Sedangkan dalam Nagarakertagama disebutkan ”......yan tan mangka mareng phalah mareki jong hyang acala pati bhakti sadara......” yang memiliki arti ”......bila tidak demikian Baginda pergi ke Palah memuja Hyang Acala Pati dengan bersujud......” (Riana, 2009: 116). Sepertinya kedudukan Candi Panataran digunakan sebagai kuil Nagara (state temple) yang diresmikan pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 (Wisnoewardhono, 1988: 8). Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan dalam Nagarakartagama bahwa pada ”...Tahun saka tiga badan dan bulan (1283) Wesaka-April-Mei Baginda raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya (”....ndan ring saka tri tanu rawi ring wesaka, sri na-/- tha muja mara ri palah sabrtya....”) (Riana, 2009: 302). Bagian ini menceritakan tentang perjalanan raja Hayam Wuruk dan memuja Hyang Acalapati. Sebutan Hyang Acalapati adalah memuja kepada raja Gunung (Girindra). Pemilihan lokasi dengan latar belakang gunung bukanlah secara kebetulan. Pendirian bangunan suci Palah dimaksudkan sebagai Candi Gunung, yakni candi yang diperuntukkan keperluan memuja gunung. Tujuan utamanya tidak  lain adalah untuk dapat “menetralisasi” atau menghindarkan segala mara bahaya yang disebabkan oleh gunung. Pemujaan kepada Hyang Acalapati adalah juga pemujaan kepada Raja Gunung (Girindra), jadi bersifat Siwais (Wisnoewardhono, 1988: 32). Pernyataan pada Nagarakertagama ini semakin memperkuat tentang keberadaan Candi Panataran, yang pada waktu itu disebut dengan nama “Palah”.   

Setelah mendiami dan belajar di Rabut Palah (Candi Penataran) selama satu tahun lebih Bujangga Manik melakukan perjalanan ke barat daya menuju Waliring, Polaman dan Balitar. “……Leu(m)pang aing marat ngidul, nepi aing ka Waliring, ngalalaring ka Polaman, datang aing ka Balitar……” (“……Aku berjalan ke baratdaya,  sampailah ke Waliring, aku berjalan lewat Polaman, tibalah ke Blitar……”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 304). 

Nama Waliring dan Polaman tidak terlacak keberadaannya sekarang. Apabila dilihat dari perjalanannya yang mengarah ke barat daya maka terdapat nama suatu daerah yang mirip dengan nama Waliring, kemungkinan berubah menjadi Beringin (Bringin) yang merupakan nama Desa Sumberingin yang terletak di Kecamatan Sanan Kulon atau menjadi Desa Bangsri, Kecamatan Nglegok, menurut laporan daftar penemuan benda-benda purbakala di Jawa timur pada tahun 1977 disebutkan telah ditemukan tiga buah arca pancuran dan fragmen sebuah bangunan candi.   

Selanjutnya menuju ke Polaman. Nama Polaman berarti Kolam ikan (ulam “ikan” jawa.), namun kemunculan toponimi ini sama dengan nama di daerah dekat Kendal. Dalam Nagarakrtagama disebutkan adanya  Polaman di daerah Daha (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 515). Selain itu pada uraian Pararaton disebutkan bahwa sebelum meninggal raja Katong (Jayakatwang)  telah membuat Kidung Wukir Polaman di Djunggaluh (Padmapuspita, 1966: 79). Di Desa Bedali dan Desa Kalirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, dimana juga terdapat nama Dukuh Polaman. Untuk Polaman perjalanan Bujangga Manik ini keberadaannya sebelum menuju ke Balitar, harus ditekankan dan dicari sebelah utara Balitar, bukan ke tempat lain.   Di Desa Jeding, Kecamatan Sanan Kulon terdapat situs kolam yang terbuat dari batu bata kuno, yang sekarang dipergunakan sebagai tempat kolam pemandian dan kolam pemancingan warga setempat. Selain Desa Jeding, di Kelurahan Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar pada tahun 2011 baru ditemukan lingga semu, batu candi, beberapa lumpang, dan batu bata kuno. situs ini terletak di antara Sungai Lahar dan Sungai Cari. Di Kelurahan Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar terdapat pemandian umum yang sekarang disebut “Water Park Sumber Udel”. Dahulu tempat ini terdapat sumber air yang menurut warga setempat sebanyak 3 buah, yang dua buah menjadi “Water Park” yang terakhir menjadi pemandian (belik) warga yang terletak di selatan “Water Park Sumber Udel”, di dekat Kali Lahar yang merupakan kali hasil muntahan lahar dingin dari Gunung Kelud. Di tempat tersebut terdapat struktur bangunan kuno yang terbuat dari batu bata dan sebuah arca pancuran, sayang sekali keberadaan temuan benda arkeologi tersebut sekarang tidak diketahui lagi. Selain itu untuk menuju kolam memandian tersebut harus menuruni anak tangga dan disekelilingnya ditumbuhi pohon beringan yang lebat. Kemungkinan dahulu merupakan tempat pathirtaan. Di Kelurahan Bendo terdapat nama Dukuh Baderan (Bader-an) yang memiliki pengertian nama jenis ikan sungai yang biasanya di budidayakan di kolam (Nila/ Mujair) dan Kampung Sangut (Sungut) berarti kumis ikan. Dukuh ini terletak di kelurahan yang sama yaitu di Kelurahan Bendo. Pendapat ini juga diperkuat akan ikon berupa lambang Ikan Koi menuju Kelurahan ini. Maka oleh karena itu Polaman harus di cari disekitar daerah ini.   

Setelah dari Polaman, Bujangga Manik mengunjungi daerah Balitar. Nama Balitar sekarang menjadi Kelurahan Blitar yang terletak di Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Dalam naskah Nagarakertagama, wilayah Blitar disebut-sebut sebagai tempat yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat, terbukti dengan beberapa kali kunjungan Hayam Wuruk ke Blitar pada tahun 1357, 1361, dan 1363 M  untuk menziarahi berbagai bangunan suci, tempat bersejarah, dan tempat yang berpanorama permai di Blitar (Muljana, 2006: 348-349; 380-381 ; Riani, 2009: 116-117; 303-305; 341-343). Di Kelurahan Blitar juga terdapat kompleks makam seorang tokoh yang sebagian besar masyarakat Blitar meyakini salah satunya sebagai tempat makam Adipati Aryo Blitar. Pada halaman  samping barat cungkup makam terdapat reruntuhan struktur bangunan kuno yang ditata ulang kembali. Disebelah timur laut makam terdapat urung-urung (saluran air) yang terbuat dari batu bata yang menghubungkan dari daerah utara dan selatan, namun saying sekali urung-urung tersebut kini sudah tertimbun dan di atasnya menjadi rumah. Selain itu juga ditemukan yoni yang caratnya putus, sebuah batu candi, puing-puing batu kuno dan hiasan candi kini menjadi nisan Mbah Barat Ketigo serta tinggalan lainnya berupa tiga jambangan yang terbuat dari batu andesit, batu dakon (atap gapura paduraksa). Pada radius 500 meter ke selatan di komplek Makam Tilara dahulu telah ditemukan dinding batu batu kuno yang berfungsi sebagai dinding kolam (patirthan) yang kini menjadi sawah. Menurut Hoepermans pada tahun 1913 di Desa Blitar masih terdapat tinggalan berupa kepala kala dan prasasti yang bertarikh saka 1246 (1324 Masehi) (Danardhana, 1977: 18-19).   Kemungkinan besar dahulu tempat ini merupakan sebuah bangunan candi masa Majapahit dan pada masa selanjutnya yaitu pada masa berkuasanya kerajaan Islam dijadikan tempat makam Adipati Aryo Blitar. Dalam Kitab Nagarakrtagama juga disebutkan adanya tanah sima bagi Desa Kapungkuran. Perdikan tersebut kini tetap digunakan hingga sekarang sebagai nama Dukuh di Kelurahan Blitar yang dimana terletak makam Aryo Blitar berada. Sebagai pendukung keletakan Kelurahan Blitar pada masa lampau pada tahun 1848 kediaman Bupati Blitar yaitu R.M Aryo Ronggo Hadinegoro di Desa Blitar dan masjid yang di bangun oleh penghulu I Blitar yaitu Kyai Imam Besari pada tahun 1820 Masehi di terjang muntahan letusan Gunung Kelud yang mengalir ke Sungai Lahar di dekat kediamannya. Selanjutnya kediamannya dipindahkan ke Kepanjenlor yang kini menjadi Kantor Bupati Blitar